Bagi Suku Toe bila ada tamu tak disambut itu berarti mereka telah gagal menjaga adat Manggarai Barat. Suku lokal di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT), itu meletakkan adat di atas kepala sebagai pedoman hidup yang harus dijunjung tinggi. Pantas bila siapa pun orangnya bila datang menjadi tamu salah satunya di Desa Liangdara Kecamatan Sanunggoang Manggarai Barat akan mendapatkan ritual penyambutan yang panjang. Inilah yang akan dipersembahkan Suku Toe untuk tamunya, yakni satu cangkir tuak raja yang telah difermentasi paling sebentar sebulan.
Perempuan-perempuan berikat bali belo dan berpakaian birimbeli datang menyambut. Beberapa perempuan berusia lanjut memukul gong dan gendang menimbulkan suara ritmik yang sederhana. Sementara sejumlah lelaki Suku Toe menari tari tradisional Caci dengan satu janji bahwa luka yang tertoreh selama mereka menari adalah kebanggaan tersendiri.
Primus Sata, tokoh seni dan budaya Suku Toe, menjadi salah satu pria yang hingga kini memimpin ucapara penyambutan tamu tersebut. "Setelah tidak ada lagi perang tanding, tarian caci digelar untuk menyambut tamu, saat perkawinan, atau setelah masa panen," kata pria 56 tahun itu. Bagi pria beranak lima itu, mempertunjukkan tari Caci adalah upaya untuk menjaga adat Manggarai Barat agar tidak tertinggal sebagai kenangan belaka. Ketika tamu datang, ia menukar baju petaninya, berganti kain songket, ikat kepala, dan tubirampai sebagai simbol jawara berjenggot.
Primus akan mengumpulkan anggota Sanggar Seni Nipuceki pimpinannya untuk menyambut tamu-tamu yang bertandang ke desanya. "Soal berapa rupiah yang akan kami dapat itu tidak pernah kami persoalkan, motivasi kami ini memuji dan memuliakan kesenian dan kebudayaan di Manggarai Barat agar tetap lestari, itu yang penting," kata Primus yang tak segan mencium tangan tamu-tamunya itu. Ia juga akan merasa senang bila pertunjukan adatnya dapat menghibur para pendatang yang mampir ke desanya.
Tari Caci menarik lantaran merupakan tarian perang zaman dahulu yang kini telah bermetamorfosis menjadi tarian yang mempertontonkan adegan perang tanding antarjawara dengan menggunakan cambuk yang terbuat dari kulit kerbau. Meski sangat mungkin terluka, para penari caci akan merasa sangat bangga bila terluka atau bahkan melukai lawannya. Uniknya, tak pernah ada dendam, meski kerap ada yang terluka parah bahkan ada yang harus merelakan anak matanya terkena cambuk dan terpaksa buta setelah. Tak cuma tari Caci, hiburan lain salah satunya Rangkuk Alu akan dipertontonkan. Primus semakin senang bila tamu-tamu turut serta menari bersama mereka.
Primus tak sendiri menjaga adat Suku Toe di Manggarai Barat, Usman Tan adalah jawara Tari Caci kondang yang telah menari sejak kelas 4 SD. Pria Toe 31 tahun itu kerap pulang dalam keadaan luka-luka sesudah menari Caci terkena cambuk kulit kerbau namun toh Usman tak pernah menaruh dendam. "Tari Caci itu persahabatan, meski terluka tapi tidak ada dendam, kalau luka sembuh semua sudah hilang," katanya. Niat di ujung hatinya hanyalah satu, yakni menjaga adat sukunya agar tak hilang ditelan zaman.
Regina Iya, perempuan Toe 34 tahun itu, sering juga menari rangkuk alu yang dipelajarinya sejak masih kecil. Tarian yang asal-usulnya merupakan upaya muda-mudi mencari jodoh itu menjadi salah satu janji suku Regina Iya untuk dijaga sampai mati. Saat ditanya mengapa Iya melakukan itu, tidaklah dia ingin pergi merantau agar mendapat lebih banyak uang, Iya hanya singkat menjawab, "Aku niak Flores" (Aku cinta Flores). Perempuan yang sehari-hari dipanggil Iya itu tahu betul bagaimana melompat di antara bambu yang yang digerak dan pukulkan oleh sekumpulan perempuan lain. Itu tari yang khas betul-betul adat Toe lantaran menggunakan bambu sama seperti asal usul nama suku mereka Toe yang berarti bambu hutan yang tumbuh liar.
Itulah mereka, Suku Toe, di pintu gerbang Nusa Tenggara Timur. Mereka yang sehari-harinya berkubang lumpur berkebun kopi, cokelat, dan kemiri, memanen buah durian ruteng, mangga, rambutan, dan salak setahun sekali, seluruhnya telah sepakat pada satu janji, yakni menjaga adat Manggarai Barat. Suku Toe bersahabat dekat dengan kesederhanaan. Bagi mereka rumah mewah dan pakaian indah bukan tujuan. Adat dan budaya mereka adalah saksi yang telah menjadikan mereka masyarakat yang teramat tulus terhadap pendatang. Banyak dari mereka kini mengenyam pendidikan tinggi. Tidak sedikit yang tak ragu untuk menuntut ilmu ke kota di Ende atau Kupang untuk belajar di universitas. Anak kedua Primus Sata bahkan dikirim ke Jember, Jawa Timur, untuk menjadi sarjana kebanggaan sukunya. Uang pangkal kuliahnya dibayar dari hasil panen durian ruteng setahun sekali yang paling sedikit menghasilkan Rp15 juta. Itu belum termasuk panenan kopi dan kemiri dari lahan 0,5 ha miliknya.
Namun toh kearifan lokal telah menjadikan mereka kaum yang sama sekali jauh dari kata sombong. Toe akan menelan bulat-bulat para tamunya dalam dekap keramahan mereka. Teramat mudah membekas di hati ketulusan lelaki, perempuan, dan anak-anak Toe yang merangkai salam kesederhanaan bagi pendatangnya. Mereka akan selalu bergegas menyambut tamu, tersenyum malu-malu, dan tak pernah keberatan untuk diambil gambarnya. Perempuan Toe akan buru-buru merapikan rambut anaknya saat seorang tamu ingin berfoto dengannya.
Budaya mereka menggariskan anak pertama dalam keluarga memegang tanggung jawab besar. Maka pantas bila akan tersaji pemandangan anak perempuan kecil menggendong adik-adiknya yang masih bayi. Mereka pun tak ingin ketinggalan momen untuk menyambut tamu. Kepala Bidang Seni dan Budaya Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Manggarai Barat, NTT, Alexander Gabut, sepakat mengupayakan sebuah preservasi dan konservasi bagi Suku Toe. Pihaknya mendukung pelestarian seni dan budaya lokal untuk kepentingan pariwisata yang menyejahterakan masyarakat sekitar. "Ke depan kami akan kembangkan sarana dan dukungan infrastruktur agar pariwisata di wilayah Manggarai Barat semakin siap menerima lebih banyak kunjungan wisatawan," katanya. Dengan begitu, wisatawan akan sepakat pada kalimat, "Aku taukolek ce e Flores" (Aku akan kembali lagi ke Flores). Sebuah janji untuk Suku Toe yang selalu menanti untuk ditepati. (Hanni Sofia).
Sumber : kompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar