Tongkonan, Rumah Adat Toraja yang Berusia 700 Tahun
Bertamu, Ketuk Pintu Dulu Pakai KepalaSebut Tana Toraja, orang akan membayangkan rumah adatnya yang unik. Orang Toraja menyebutnya tongkonan. Keunikan tongkonan itulah, salah satu, yang menarik wisatawan berkunjung ke kabupaten di Sulawesi Selatan tersebut.
Laporan KASMAN, Makale
---
Untuk menuju Tana Toraja, pelancong bisa menggunakan pesawat terbang tujuan Makassar. Dari Jakarta, diperlukan dua jam perjalanan ke ibu kota Sulsel itu.
Setiba di Bandara Sultan Hasanuddin Makassar, perjalanan menuju Tana Toraja bisa dilakukan dengan bus. Sebetulnya, kita bisa juga menggunakan pesawat terbang ke Bandara Pongtiku di Toraja. Hanya perlu 40 menit penerbangan dari Bandara Sultan Hasanuddin ke Bandara Pongtiku.
Problemnya, penerbangan Makassar-Tana Toraja itu hanya tersedia sekali dalam sepekan dengan pesawat jenis Cassa. Bila menggunakan bus, perjalanan dari Makassar ke Makale, ibu kota Tana Toraja, membutuhkan waktu sekitar delapan jam melintasi jalur berbukit-bukit.
Di Kota Makale, tongkonan asli tidak mudah ditemukan. Untuk melihat tongkonan dengan bentuk dan bahan aslinya, kita harus pergi ke luar kota. Beberapa daerah di Toraja masih memiliki tongkonan yang indah. Namun, yang paling diminati wisatawan adalah tongkonan palawa dan tongkonan atap batu.
Tongkonan atap batu terletak di Desa Banga', Kecamatan Rembon, Kabupaten Tana Toraja. Dari Kota Makale, ibu kota Kabupaten Tana Toraja, kita harus menempuh perjalanan 10 kilometer ke arah barat. Tapi, tidak perlu khawatir. Jalan menuju Desa Banga' cukup mulus.
Sekilas, tongkonan yang disakralkan warga itu tampak biasa-biasa saja. Ukurannya 3 x 10 meter, tidak terlalu luas untuk sebuah tongkonan. Namun, ada beberapa hal pada bangunan yang diyakini berusia 700 tahun itu yang tidak akan ditemukan pada tongkonan lain. Karena keunikannya, Pemkab Tana Toraja melalui pemerintah pusat mengusulkan tongkonan tersebut masuk daftar warisan budaya dunia UNESCO.
Seperti sebutannya, salah satu keunikannya terletak pada atap yang terbuat dari batu pahatan berbentuk segi empat. Tebal tiap batu atap itu 5 sentimeter dengan lebar tiga jengkal orang dewasa.
Di ujung batu atap tersebut ada dua lubang kecil di sisi kiri dan kanan. Fungsinya, untuk mengikatkan tali rotan yang dilengketkan ke balok kerangka atap. Puncak atap, tempat pertemuan atap sisi kiri dan kanan, ditutup pecahan bambu agar air hujan tidak merembes ke dalam tongkonan.
Jumlah batu yang digunakan sebagai atap tongkonan itu lebih dari seribu. Berat tiap batu atap itu rata-rata 10 kilogram. Berarti, beban atap tongkonan tersebut sekitar 10 ton.
Atap dan badan tongkonan itu ditopang 55 tiang yang seluruhnya terbuat dari kayu. Lantai tongkonan terbuat dari papan dan dindingnya berupa kayu berukir.
Pada tiang depan tongkonan tampak berjajar ratusan tanduk kerbau yang dipotong tiap penghuni tongkonan itu menyelenggarakan pesta adat. Pintu masuknya hanya satu, terletak di bagian tengah sisi kanan bangunan. Untuk masuk ke tongkonan itu, kita harus melewati tangga yang juga terbuat dari kayu.
Tertarik melihat bagian dalam tongkonan? Bisa. Cukup mengetuk pintu tiga kali, siapa saja boleh masuk. Ah, biasa. Di mana-mana, yang namanya tamu memang mesti mengetuk pintu dulu, kan?
Tunggu dulu. Sebab, justru itulah salah satu keunikan tongkonan tua tersebut. Kita tidak boleh mengetuk pintu dengan tangan. Harus pakai kepala. "Kalau tidak mengikuti aturan itu, pengunjung biasanya mengalami kecelakaan saat pulang. Bahkan, ada pengunjung yang jatuh sakit karena masuk rumah tanpa permisi," tutur Dorkas, pemilik tongkonan kuno tersebut.
Saat ini tongkonan itu dihuni Ne' Toyang, janda berusia 110 tahun. Ne' Toyang menghuni tongkonan itu bersama putri ketiganya, Dorkas. "Bapak saya bernama Sara', sudah meninggal. Sekarang tinggal Ibu (Ne' Toyang) dan cucu-cucu. Jumlahnya 140 orang," tutur Dorkas.
Menurut dia, Nenek Toyang yang kini menghuni tongkonan itu adalah turunan kesepuluh dari penghuni pertama. Menurut cerita turun-temurun, yang pertama membuat dan menghuni tongkonan itu adalah nenek Buntu Batu.
"Ibu saya yang sekarang menghuni tongkonan ini sudah turunan kesepuluh. Usia ibu saya 110 tahun. Turunan kedua hingga kesembilan kami lupa namanya. Ibu saya hanya bilang bahwa tongkonan ini berusia 700 tahun lebih," papar Dorkas.
Saat akan masuk ke tongkonan itu, penulis juga diharuskan mengetuk pintu dengan kepala. "Tidak usah keras-keras, nanti sakit. Yang penting ada suaranya," kata Dorkas.
Di dalam tongkonan itu ada kamar persis di sebelah kanan pintu. Di kamar itu Dorkas meminta izin, entah kepada siapa, agar direstui meninjau situasi dalam tongkonan.
Rupanya, keluarga pemilik tongkonan tersebut yakin bahwa tongkonan itu masih dihuni leluhur meski tidak menampakkan diri. "Kalau ada tamu yang langsung naik tanpa permisi, biasa sakit saat pulang," katanya.
Tongkonan itu punya empat kamar dan satu ruang tamu. Namun, di kamar-kamar tersebut tidak ada kasur atau ranjang.
Bagaimana dengan atapnya? Dorkas yang kelahiran 1948 itu menyatakan, sejak dibangun sekitar 700 tahun silam, tongkonan tersebut baru dua kali ganti atap. Pergantian pertama hanya di beberapa titik. Saat itu ada tali rotan pengikat atap yang terputus. "Pergantian kedua dilakukan saat Tana Toraja dilanda gempa bumi. Tapi, saya lupa tahun berapa kejadiannya. Menurut kakek, sebagian besar atap jatuh karena gempa tersebut," katanya.