readbud - get paid to read and rate articles

26 April 2011

Candi Prambanan, Candi Hindu Tercantik Di Dunia


Candi Rara Jonggrang atau Lara Jonggrang yang terletak di Prambanan adalah kompleks candi Hindu terbesar di Indonesia. Candi ini terletak di pulau Jawa, kurang lebih 20 km timur Yogyakarta, 40 km barat Surakarta dan 120 km selatan Semarang, persis di perbatasan antara provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Candi Rara Jonggrang terletak di desa Prambanan yang wilayahnya dibagi antara kabupaten Sleman dan Klaten. Candi ini dibangun pada sekitar tahun 850 Masehi oleh salah seorang dari kedua orang ini, yakni: Rakai Pikatan, raja kedua wangsa Mataram I atau Balitung Maha Sambu, semasa wangsa Sanjaya. Tidak lama setelah dibangun, candi ini ditinggalkan dan mulai rusak.


Candi Prambanan adalah mahakarya kebudayaan Hindu dari abad ke-10. Bangunannya yang langsing dan menjulang setinggi 47 meter membuat kecantikan arsitekturnya tak tertandingi.

Kompleks Candi Prambanan mempunyai 3 halaman, yaitu halaman pertama berdenah bujur sangkar, merupakan halaman paling suci karena halaman tersebut terdapat 3 candi utama (Siwa, Wisnu, Brahma), 3 candi perwara, 2 candi apit, 4 candi kelir, 4 candi sudut/patok. Halaman kedua juga berdenah bujur sangkar, letaknya lebih rendah dari halaman pertama. Pada halaman ini terdapat 224 buah candi perwara yang disusun atas 4 deret dengan perbandingan jumlah 68, 60, 52, dan 44 candi. Susunan demikian membentuk susunan yang konsentris menuju halaman pusat.
Pada tahun 1733, candi ini ditemukan oleh CA. Lons seorang berkebangsaan Belanda, kemudian pada tahun 1855 Jan Willem IJzerman mulai membersihkan dan memindahkan beberapa batu dan tanah dari bilik candi. beberapa saat kemudian IsaƤc Groneman melakukan pembongkaran besar-besaran dan batu-batu candi tersebut ditumpuk secara sembarangan di sepanjang Sungai Opak. Pada tahun 1902-1903, Theodoor van Erp memelihara bagian yang rawan runtuh. Pada tahun 1918-1926, dilanjutkan oleh Jawatan Purbakala (Oudheidkundige Dienst) di bawah P.J. Perquin dengan cara yang lebih metodis dan sistematis, sebagaimana diketahui para pendahulunya melakukan pemindahan dan pembongkaran beribu-ribu batu tanpa memikirkan adanya usaha pemugaran kembali.Pada tahun 1926 dilanjutkan De Haan hingga akhir hayatnya pada tahun 1930. Pada tahun 1931 digantikan oleh Ir. V.R. van Romondt hingga pada tahun 1942 dan kemudian diserahkan kepemimpinan renovasi itu kepada putra Indonesia dan itu berlanjut hingga tahun 1993. Banyak bagian candi yang direnovasi, menggunakan batu baru, karena batu-batu asli banyak yang dicuri atau dipakai ulang di tempat lain. Sebuah candi hanya akan direnovasi apabila minimal 75% batu asli masih ada. Oleh karena itu, banyak candi-candi kecil yang tak dibangun ulang dan hanya tampak fondasinya saja. Sekarang, candi ini adalah sebuah situs yang dilindungi oleh UNESCO mulai tahun 1991. Antara lain hal ini berarti bahwa kompleks ini terlindung dan memiliki status istimewa, misalkan juga dalam situasi peperangan. Candi Prambanan adalah candi Hindu terbesar di Asia Tenggara, tinggi bangunan utama adalah 47m.
Kompleks candi ini terdiri dari 8 kuil atau candi utama dan lebih daripada 250 candi kecil. Tiga candi utama disebut Trisakti dan dipersembahkan kepada sang hyang Trimurti: Batara Siwa sang Penghancur, Batara Wisnu sang Pemelihara dan Batara Brahma sang Pencipta. Candi Siwa di tengah-tengah, memuat empat ruangan, satu ruangan di setiap arah mata angin. Sementara yang pertama memuat sebuah arca Batara Siwa setinggi tiga meter, tiga lainnya mengandung arca-arca yang ukuran lebih kecil, yaitu arca Durga, sakti atau istri Batara Siwa, Agastya, gurunya, dan Ganesa, putranya. Arca Durga juga disebut sebagai Rara atau Lara/Loro Jongrang (dara langsing) oleh penduduk setempat. 


Read More

23 Januari 2011

Toraja Mendambakan Sentuhan Ekstra

Tongkonan berumur ratusan tahun di Kampung Kete Kesu, Rantepao, Toraja Utara, Sulawesi Selatan.
Bayangan akan semarak upacara adat, sensasi adu kerbau, dan keindahan panorama Toraja tiba-tiba sirna dari benak Toby Mckenzie (35). Pria asal Inggris yang datang bersama istrinya, Elizabeth, itu gusar karena sulit mendapatkan brosur tentang agenda dan lokasi obyek wisata di Toraja. 

Toby sengaja tidak mengambil paket tur wisata karena berpikir semua kebutuhannya sebagai wisatawan dapat diperoleh dengan mudah di Toraja. Hal itu didasari oleh pengalamannya berlibur ke sejumlah obyek wisata di negara berbeda. Namun, sarana informasi begitu sulit ia peroleh dalam kunjungan pertama kalinya ke Toraja ini. ”Sulit sekali mendapatkan informasi yang dibutuhkan. Ternyata badan pariwisata (tourism board) pun tidak ada di Toraja,” tutur lelaki yang bekerja di Manchester ini.

Hal itu mencerminkan belum optimalnya pengelolaan pariwisata di Toraja. Padahal, keramahan dan keterbukaan warga Toraja menjadi modal yang bisa dimanfaatkan pemerintah untuk memberdayakan sektor pariwisata berikut para pemangku kepentingan.

Pada upacara pernikahan di Lembang Buntu Tallunglipu, Kecamatan Tallunglipu, Kabupaten Toraja Utara, Sulawesi Selatan (Sulsel), Selasa (28/12), misalnya, warga membaur dengan sekelompok wisatawan. Kesakralan momen sekali seumur hidup itu tak terusik aktivitas memotret dan merekam yang dilakukan para turis.

Tak hanya itu, dalam upacara kematian Rambu Solo’ dan syukuran Rambu Tuka’ pun, wisatawan serta jurnalis bebas mengabadikan momen demi momen. Mereka leluasa mencari sudut pengambilan gambar yang terbaik seiring dengan berlangsungnya ritual. Tingkah polah para pendatang yang menganggap upacara bak tontonan sama sekali tak membuat gusar penghelat acara dan kerabatnya.
Sayang, karakter warga Toraja yang kondusif bagi kepariwisataan itu belum diimbangi dengan kepekaan pemerintah setempat untuk menyiapkan sarana pendukung. Hampir semua jalan menuju tempat penyelenggaraan upacara, yang selama ini menjadi tujuan wisatawan, tidak memadai. Ruas jalan pada umumnya masih berupa tanah dan bebatuan dengan lebar kurang dari 3 meter.

Untuk menyaksikan upacara Rambu Tuka’ di Tongkonan Massing, Tallunglipu, misalnya, pengendara harus melewati jalan yang memotong areal persawahan. Saat melalui jalan bebatuan dengan lebar hanya 2,5 meter itu, pengemudi terpaksa menepi seraya menekuk kaca spion jika berpapasan dengan kendaraan lain.
Tidak jarang pengemudi harus mundur kembali ke jalan utama ketika berpapasan dengan truk yang mengangkut warga atau kerbau. Kondisi serupa juga terjadi pada akses menuju tempat pelaksanaan upacara Rambu Solo’ di Kampung Balusu, Kecamatan Balusu, dan Kampung Deri, Kecamatan Sesean, Toraja Utara.

Hadi Lesmana (34), wisatawan asal Jakarta yang datang bersama teman-temannya, harus berjalan kaki sejauh 5 kilometer (km) dari jalan utama untuk menyaksikan pesta kematian almarhumah Theresia Tangdo Pole atau Ne’ Tapu’ di Kampung Deri.

Mobil yang dia sewa terpaksa menunggu di jalan utama karena akses menuju lokasi upacara lebarnya kurang dari 3 meter. Medan jalan yang terjal dan meliuk amat riskan dilewati kendaraan bermuatan banyak.
Ketidaknyamanan juga dirasakan Maria Mantouw (22), wisatawan asal Manado, ketika ingin menonton Ma’pasilaga Tedong (adu kerbau) di Kampung Malakiri, Balusu. Mahasiswi Universitas Sam Ratulangi itu terpaksa berjalan kaki sejauh hampir 2 km karena warga sekitar melarang mobil masuk hingga lokasi. Warga khawatir, jika jalan dibuka, hal itu justru akan menyebabkan kemacetan.
Kondisi ini bertolak belakang dengan berbagai upacara yang marak diselenggarakan pada akhir tahun. Upacara Rambu Solo’ dan Rambu Tuka’ yang menelan biaya dari ratusan juta rupiah hingga miliaran rupiah justru digelar di ujung jalan sempit dan belum diaspal itu.

Pesta kematian Ne’ Tapu’ di Kampung Deri, misalnya, menghabiskan dana sekitar Rp 3 miliar untuk penyediaan 108 kerbau persembahan dan ratusan babi. Kerbau yang dipersembahkan termasuk jenis tedong bonga (kerbau belang) dan kerbau baliian yang panjang tanduknya bisa mencapai 2 meter lebih. Harga seekor tedong bonga bisa mencapai Rp 300 juta, sedangkan harga kerbau baliian Rp 150 juta per ekor.
Menurut tokoh masyarakat Toraja, Jacobus Kamarlo Mayongpadang, pesta yang digelar secara jorjoran itu mencerminkan lemahnya kontrol Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Toraja Utara. Peraturan daerah tentang retribusi pemotongan hewan dianggap kurang efektif membatasi jumlah hewan yang dipersembahkan dalam upacara.

Selama ini pelaksana upacara dikenai retribusi Rp 150.000 untuk setiap kerbau dan Rp 50.000 untuk setiap babi persembahan. Yang jelas, penghasilan retribusi tak cukup untuk membenahi infrastruktur desa.
Agar retribusi lebih bermanfaat bagi masyarakat, Pemkab Toraja Utara perlu menaikkan pajak. Jacobus berpendapat, keluarga yang menyembelih lebih dari 30 kerbau, misalnya, bisa dikenai pajak 20-30 persen dari harga total kerbau.

Koordinator Association of the Indonesia Tour and Travel Agencies Wilayah Sulawesi Nico B Pasaka menuturkan sisi lain: minimnya sarana informasi dan buruknya infrastruktur memengaruhi minat wisatawan ke Toraja. Perjalanan darat dari Makassar ke Toraja sejauh 328 km memakan waktu 12 jam. Lamanya waktu tempuh itu akibat belum rampungnya pelebaran jalan poros Maros-Parepare sepanjang 125 km, yang dimulai pada tahun 2008. Transportasi darat masih menjadi satu-satunya pilihan setelah Dirgantara Air Service (DAS) tak lagi melayani rute Makassar-Toraja sejak Juli 2010.

Kala itu DAS menyediakan pesawat CASA 212 berkapasitas 24 penumpang, menyesuaikan dengan panjang landasan Bandara Pongtiku Toraja yang tak sampai 1.500 meter. Rencana membangun bandara baru dengan landasan lebih panjang agar bisa didarati pesawat ATR pun masih sebatas wacana. Menurut Nico, pembangunan bandara baru perlu segera direalisasikan untuk meningkatkan kembali animo wisatawan. Setelah dikunjungi sebanyak 385.000 wisatawan sepanjang tahun 1996, jumlah pelancong ke Toraja terus menurun. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sulsel mencatat angka kunjungan wisatawan tahun lalu sebanyak 45.000 orang. Dari jumlah tersebut, hanya sekitar 60 persen yang berkunjung ke Toraja.

Upaya Pemerintah Provinsi Sulsel mengadakan program Lovely December belum berdampak signifikan terhadap pariwisata Toraja. Acara yang digelar sejak 2008 itu belum bersinergi dengan agenda masyarakat sehingga terkesan seperti seremonial dan elitis. Lovely December akhir Desember 2010 bahkan kental dengan suasana politis terkait dengan rivalitas pasangan calon dalam Pilkada Toraja Utara.

Tokoh pemuda Toraja, Rana Dase (51), berpendapat, pemerintah semestinya melakukan upaya yang lebih konkret, seperti menggalang sinergi warga Toraja, agar dapat memanfaatkan pariwisata sebagai sandaran hidup. ”Tanpa Lovely December pun Toraja pasti ramai karena para perantau mudik untuk merayakan Natal dan menghadiri upacara adat,” ucap Rana.

Akademisi asal Toraja, Stepanus Wilfrid, memandang, modal sosial yang dimiliki warga Toraja mestinya diimbangi oleh pemerintah dengan membangun infrastruktur kepariwisataan. Upaya masyarakat Toraja menjadikan aneka ritual sebagai ajang aktualisasi diri sepatutnya dibarengi dengan pemenuhan aspek-aspek pencarian identitas yang membanggakan.
Intinya, Toraja menanti sentuhan ekstra secara masif....

ASWIN RIZAL HARAHAP dan NASRULLAH NARA

Sumber : Kompas Cetak 22 Januari 2011

Read More

09 Januari 2011

Keistimewaan Kerbau Toraja

Jika di sebagian belahan Nusantara kerbau hanya dipandang sebagai hewan ternak dan sering kali ditemukan berkubang lumpur di sawah, tidak demikian halnya dengan kerbau yang ditemukan di sekitar kehidupan sehari-hari masyarakat Toraja. Bagi mereka, kerbau memiliki posisi istimewa dan menjadi salah satu simbol prestise dan kemakmuran.
Dalam upacara adat Toraja seperti Rambu Solo, kerbau memegang peranan sebagai peranti utama. Kerbau digunakan sebagai alat pertukaran sosial dalam upacara tersebut. Jumlah kerbau yang dikorbankan menjadi salah satu tolok ukur kekayaan atau kesuksesan anggota keluarga yang sedang menggelar acara, sebagaimana di Kecamatan Balusu, Toraja Utara, Sulawesi Selatan, Senin (27/12/2010). Kebanggaan akan hal tersebut terlihat dari jumlah tanduk kerbau yang dipasang pada bagian depan tongkonan (rumah tradisional Toraja) keluarga penyelenggara upacara Rambu Solo.

Bentuk fisik kerbau yang oleh masyarakat Toraja disebut tedong itu berbeda dengan yang banyak ditemukan di kawasan lainnya. Kerbau Toraja rata-rata berbadan kekar dan beberapa di antaranya memiliki kulit belang serta tanduk memanjang. Dengan berbagai keistimewaan tersebut, tidak heran jika harga seekor kerbau yang kondisi fisiknya dinilai sempurna oleh masyarakat setempat dapat mencapai harga Rp 300 juta per ekor.
Agar tubuh kerbau menjadi kekar dan kuat, susu dan belasan butir telur ayam menjadi santapannya sehari-hari. Kekuatan dan postur tubuhnya akan sangat berpengaruh pada nilai jual serta daya tempur kerbau di arena adu kerbau.

Kerbau yang sering muncul sebagai pemenang memiliki penggemar tersendiri di arena pertandingan yang digunakan sebagai ajang hiburan rakyat serta pertaruhan uang antarwarga tersebut..
Ferganata Indra Riatmoko

Sumber : koran kompas minggu  8 januari 2011 
Read More

06 Januari 2011

Ritual Pemakaman di Tana Toraja : Yang Mati Meninggalkan Beban


Adat orang Toraja menggariskan penghormatan setinggi-tingginya kepada leluhur-berapa pun ongkosnya. Upacara kematian seorang rambu solo', anggota kasta emas (bangsawan), misalnya, bisa menghabiskan dana ratusan juta rupiah untuk menyembelih paling tidak 24 ekor kerbau. Di kalangan kasta besi dan kayu (menengah), upacara dilakukan dengan menyembelih 6-12 kerbau, dan dalam kasta rumput (rendah) beberapa ekor babi betina dikorbankan. "Anak keturunan berkewajiban memperlakukan leluhurnya dengan baik. Dengan begitu, sang leluhur juga akan melimpahkan rezeki dan menjaga keturunannya dengan baik pula," kata Prof. Dr. Marrang S. Paranoan, budayawan Toraja dari Universitas Hasanuddin. 
pesta pemakaman (Rambu Solo')
Menyelenggarakan ritual kematian selangit-bisa mencapai Rp 1 miliar-merupakan kebanggaan yang tinggi bagi orang Toraja. Tetapi itu juga sekaligus menimbulkan utang besar, yang membebani hingga beberapa keturunan. Tengok saja David Layuk, 53 tahun, yang mengaku tak betah tinggal di kampung halamannya sendiri di Madandan, Toraja Bagian Tengah. Dia harus sering merogok koceknya dalam-dalam tak sebanding dengan gajinya sebagai Kepala Kejaksaan Negeri Makale, Tana Toraja. Buat upacara kematian keluarga terdekat, David harus menyumbang setidaknya satu ekor kerbau. Untuk kerabat jauh, ia mesti menyumbang satu ekor babi. Dan itu terjadi hampir setiap bulan. Padahal, harga kerbau minimal Rp 10 juta per ekor, dan babi Rp 1 juta per ekor. "Utang babi saya di Pasar Hewan Bolu, Rantepao, sudah menumpuk," katanya berkeluh kesah saat ditemui TEMPO awal Juni lalu. "Saya tidak sanggup membayarnya. 
Kerbau Belang (Tedong Bonga) yang harganya puluhan juta

Pengeluaran untuk pesta-pesta adat tersebut lebih besar dari biaya untuk keluarga saya sendiri." Masih banyak David-David yang lain, sehingga tampak ada beban yang terus-menerus menggayuti masyarakat Toraja umumnya. Itulah yang membuat Toraja sulit berkembang karena selalu dalam lingkaran beban. Kesulitan ekonomi itu masih diperparah oleh soal judi sabung ayam terselubung yang sering menyertai upacara kematian. "Toraja kini menjadi wilayah judi sabung ayam di Sulawesi Selatan," tutur Tanete Adrianus Pong Masak, sosiolog Universitas Katolik Atmajaya Jakarta asal Toraja. "Sebuah pesta rambu solo' tanpa sabung ayam bukanlah upacara kematian yang sempurna." Sejatinya, wilayah Toraja, yang berpenduduk 381 ribu jiwa (sensus 1995), bukanlah bumi yang makmur penuh kekayaan alam. Hasil pertanian hanyalah kopi, kentang, kacang-kacangan, dan cengkeh. 
Pasar babi di tana toraja
Panen padi umumnya sekali setahun, menyesuaikan dengan musim. Lainnya berupa peternakan babi. Pada subsektor industri yang dihubungkan dengan industri pariwisata, ekspor lebih berkembang di Toraja. Potensi industri kecil atau kerajinan rakyat menunjukkan 2.646 unit usaha (Badan Pusat Statistik 1995). Karena memiliki keunikan yang khas, tak aneh jika industri pariwisata bertahun-tahun menjadi primadona Toraja. 

Badan Pusat Statistik mencatat periode Juli 2000 lalu wisatawan mancanegara yang masuk ke Sulawesi melalui Bandara Hasanuddin di Makassar meningkat 64,4 persen dibandingkan dengan bulan-bulan sebelumnya. Mayoritas menuju Tana Toraja. Sebagai perbandingan, Bali, yang merupakan daerah tujuan wisata utama di Indonesia, hanya naik 16,62 persen. Bila musim turis tiba, sepanjang April-September, toko suvenir selalu diserbu turis. Sebuah toko suvenir bisa mengantongi keuntungan Rp 15 juta dalam sepekan. Sayangnya, toko-toko tersebut juga menjual secara ilegal barang dari makam yang selama ini dikeramatkan. 
Keindahan alam Tana Toraja
Bisnis jarahan makam keramat akhirnya menjadi ironi pergeseran masyarakat Toraja. Hal itu diakui Tanete. "Ada nilai-nilai tradisional sudah mulai lapuk. Juga akses dari bisnis pariwisata Toraja yang mengakibatkan komersialisasi adat-istiadat," katanya. Menurut Tanete, perlu dicari suatu alternatif memajukan Tana Toraja lewat potensi ekonomi lain, seperti potensi pertambangan yang kaya di daerah itu. Tanpa pengembangan ekonomi yang lebih baik, pencurian mayat mungkin tidak bisa dihentikan. Mahalnya menyelenggarakan upacara penguburan hanya akan menjadi ironi ketika orang merusak kekeramatan leluhur justru karena kemiskinan yang ditinggalkan si mati. 

Dwi Arjanto dan Tomi Lebang (Toraja)
Read More