readbud - get paid to read and rate articles

26 Desember 2010

Sensasi Arung Jeram di Sa'dan Toraja


Toraja Indonesi bukan hanya terkenal dengan objek wisata berupa makam yang ada di sisi tebing, namun Anda juga bisa melakukan kegiatan wisata arung jeram menyusuri Sungai Sa'dan. Bulan Desember merupakan saat favorit bagi pecinta arung jeram, menikmati sensasi arus Sungai Sa'dan.
Sungai Sa'dan, juga sering disebut Saddang oleh orang luar Toraja, merupakan tempat yang sangat tepat untuk kegiatan arung jeram karena sungai ini memiliki panjang sekitar 182 kilometer dan lebar rata-rata 80 meter, serta memiliki anak sungai sebanyak 294.

Pengarungan sungai Sa'dan ini dapat ditempuh selama 2 hari penuh dengan menginap di tengah perjalanan. Sebagai tempat menginap, Anda bisa beristirahat di sebuah rumah panggung yang biasa disebut lantang, yang terletak di pinggir sungai.


Di sepanjang Sungai Sa'dan terdapat beberapa jeram dengan tingkat kesulitan yang berbeda, seperti jeram Puru dengan katagori tingkat kesulitan III, kemudian jeram Pembuangan Seba dengan kategori tingkat kesulitan IV, yaitu permukaan air di pinggir sungai yang lebar dan tiba-tiba menyempit dengan cepat.

Ada juga jeram Fitri dengan kategori tingkat kesulitan V, yaitu berupa patahan dan arus sungai yang menabrak batu besar yang dapat menyebabkan perahu menempel di batu dan terjebak di antaranya.

Sambil memacu adrenalin, Anda juga bisa menikmati topografi di sekitar Sungai Sa'dan yang indah dan hijau. Di sepanjang perjalanan, Anda bisa menyaksikan flora dan fauna yang beraneka ragam. Sesekali juga nampak gunung-gunung menyembul di sekitar sungai yang dilapisi oleh padang rumput sabana.

Sebagai titik awal, pengarungan Sungai Sa'dan dimulai dari jembatan gantung di Desa Buahkayu, Kabupaten Tana Toraja dan berakhir di jembatan Pappi, Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan.

Akses menuju, Makale ibu kota kabupaten Tana Toraja dari Kota Makassar dapat ditempuh dengan menggunakan jalur darat dan udara. Jalur darat ditempuh dengan menggunakan kendaraan pribadi maupun angkutan umum selama kurang lebih 8 jam, sedangkan jalur udara dapat ditempuh dengan penerbangan perintis selama 2 jam. Saat ini sudah ada penerbangan reguler dengan Trigana Air dari Balikpapan-Rantetayo, Tana Toraja.


Sesampainya di Makale ibukota Tana Toraja, Anda dapat langsung menuju Rantepao,ibukota kabupaten Toraja Utara. Dari kota ini perjalanan dilanjutkan ke Desa Buah Kayu (tempat start pengarungan). Perjalanan dapat ditempuh dengan menggunakan mobil Jip selama kurang lebih 3,5 jam.

Bila Anda belum mempunyai pengalaman arung jeram, di lokasi tersedia river guide (pemandu sungai) yang profesional dengan biaya sebesar Rp1.250.000, per orang.


Kontak Operator Arung Jeram Toraja Sa'dan


Indo' Sella' Expedition
Perumahan Azalea Blok B/15, Panakkukang Mas
Makassar, Sulawesi Selatan, Indonesia
Telepon: (+62-411) 5073499
Hotline: (+62-813) 42270999
Faksimili : (+62 411) 439057

Sobek Expedition
Jl Pongtiku No 48, Rantepao, Tana Toraja, Indonesia
Telepon (+62-423) 21336
Faksimili (+62-423) 21615
Sumber : Toraja Cyber News

 
Read More

Upacara Adat Terunik Khas Indonesia

Selain pesona alam dan bangunan-bangunan eksotik, upacara dan ritual etnik juga menjadi daya tarik, bagi wisatawan dunia. Memiliki beragam suku dan adat istiadat, Indonesia memiliki banyak ritual unik. Adu kerbau dalam ritual Rambu Solo' di Toraja termasuk salah satu upacara adat terunik, khas Indonesia. Berikut upacara adat terunik dari berbagai daerah.

1. Ritual Tiwah

Ritual Tiwah yaitu prosesi menghantarkan roh leluhur sanak saudara yang telah meninggal dunia ke alam baka dengan cara menyucikan dan memindahkan sisa jasad dari liang kubur menuju sebuah tempat yang bernama sandung. Ritual Tiwah dijadikan objek wisata karena unik dan khas. Banyak para wisatawan mancanegara tertarik pada upacara ini yang hanya dilakukan oleh warga Dayak Kalteng.


2. Kebo-Keboan
Prosesi upacara adat Kebo-keboan yang dilaksanakan setiap tahun oleh warga Desa Alasmalang. Awalnya upacara adat ini dilaksanakan untuk memohon turunnya hujan saat kemarau panjang. Dengan turunnya hujan ini berarti petani dapat segera bercocok tanam.

Puncaknya prosesinya adalah membajak sawah dan menanam bibit padi di persawahan. Orang-orang yang bertingkah seperti kerbau tadi dapat kesurupan dan mengejar siapa saja yang mencoba mengambil bibit padi yang ditanam. Warga masyarakat Desa Alasmalang berusaha berebut bibit padi tersebut, karena dipercaya dapat digunakan sebagai tolak-bala maupununtuk keuntungan.

3. Adu Kerbau
Adu kerbau diawali dengan kerbau bule. Partai adu kerbau diselingi dengan prosesi pemotongan kerbau ala Toraja, Ma’tinggoro tedong, yaitu menebas kerbau dengan parang dan hanya dengan sekali tebas. Semakin sore, pesta adu kerbau semakin ramai karena yang diadu adalah kerbau jantan yang sudah memiliki pengalaman berkelahi puluhan kali.

Sebelum diadu, dilakukan parade kerbau. Ada kerbau bule atau albino, ada pula yang memiliki bercak-bercak hitam di punggung yang disebut saleko dan hitam di punggung (lontong boko'). Jenis yang terakhir ini harganya paling mahal, bisa di atas Rp 100 juta. Juga terdapat kerbau jantan yang sudah dikebiri—konon cita rasa dagingnya lebih gurih

 
4 . Rambu Solo
Rambu Solo adalah pesta atau upacara kedukaan/ kematian. Adat istiadat yang telah diwarisi oleh masyarakat Toraja secara turun temurun. Bagi keluarga yang ditinggal wajib membuat sebuah pesta sebagai tanda penghormatan terakhir pada mendiang yang telah pergi. Setelah melewati serangkaian acara, si mendiang diusung menggunakan Tongkonan (sejenis rumah adat khas Toraja) menuju makam yang berada di tebing-tebing dalam gua. Nama makamnya adalah pekuburan Londa.


Yang unik dari upacara rambu solo adalah pembuatan boneka kayu yang dibuat sangat mirip dengan yang meninggal dan diletakkan di tebing. Uniknya lagi, konon katanya wajah boneka itu kian hari kian mirip sama yang meninggal.

5. Pasola Sumba
Ini adalah bagian dari serangkaian upacara tradisional yang dilakukan oleh orang Sumba. Setiap tahun pada bulan Februari atau Maret serangkaian upacara adat dilakukan dalam rangka memohon restu para dewa agar supaya panen tahun tersebut berhasil dengan baik.

Puncak dari serangkaian upacara adat yang dilakukan beberapa hari sebelumnya adalah apa yang disebut pasola. Pasola adalah “perang-perangan” yang dilakukan oleh dua kelompok berkuda. Setiap kelompok teridiri atas lebih dari 100 pemuda bersenjakan tombak yang dibuat dari kayu berdiameter kira-kira1,5 cm yang ujungnya dibiarkan tumpul.


6. Dugderan
Duderan adalah sebuah upacara yang menandai bahwa bulan puasa telah datang. Dugderan dilaksanakan tepat 1 hari sebelum bulan puasa. Kata Dugder, diambil dari perpaduan bunyi dugdug, dan bunyi meriam yang mengikuti kemudian diasumsikan dengan derr.


Kegiatan ini meliputi pasar rakyat yang dimulai sepekan sebelum dugderan, karnaval yang diikuti oleh pasukan merahputih, drumband, pasukan pakaian adat “BHINNEKA TUNGGAL IKA”, meriam, warak ngendok dan berbagai potensi kesenian yang ada di Kota Semarang. Ciri Khas acara ini adalah warak Ngendok sejenis binatang rekaan yang bertubuh kambing berkepala naga kulit sisik emas. Visualisasi warak ngendok dibuat dari kertas warna – warni. Acara ini dimulai dari jam 08.00 sampai dengan maghrib di hari yang sama juga diselenggarakan festival warak dan Jipin Blantenan.

7. Tabuik
Berasal dari kata ‘tabut’, dari bahasa Arab yang berarti mengarak, upacara Tabuik merupakan sebuah tradisi masyarakat di pantai barat, Sumatera Barat, yang diselenggarakan secara turun menurun. Upacara ini digelar di hari Asura yang jatuh pada tanggal 10 Muharram, dalam kalender Islam. Pada hari yang telah ditentukan, sejak pukul 06.00, seluruh peserta dan kelengkapan upacara bersiap di alun-alun kota. Para pejabat pemerintahan pun turut dalam pelaksanaan upacara paling kolosal di Sumatera Barat ini.

Satu Tabuik diangkat oleh para pemikul yang jumlahnya mencapai 40 orang. Di belakang Tabuik, rombongan orang berbusana tradisional yang membawa alat musik perkusi berupa aneka gendang, turut mengisi barisan. Sesekali arak-arakanberhenti dan puluhan orang yang memainkan silat khas Minang mulai beraksi sambil diiringi tetabuhan. Saat matahari terbenam, arak-arakan pun berakhir. Kedua Tabuik dibawa ke pantai dan selanjutnya dilarung ke laut. Hal ini dilakukan karena ada kepercayaan bahwa dibuangnya Tabuik ini ke laut, dapat membuang sial. Di samping itu, momen ini juga dipercaya sebagai waktunya Buraq terbang ke langit, dengan membawa segala jenis arakannya.

8. Ngaben
Ngaben adalah upacara pembakaran atau kremasi jenazah umat Hindu Bali. Dalam prosesi Ngaben, ketika api mulai disulut, perlahan-lahan kobaran api akan membesar dan mulai berkobar menyulut sosok jenazah. Lama-kelamaan kobaran api mulai menghanguskan jazadnya yang dipercaya akan melepaskan segala ikatan keduniawian dari orang yang meninggal itu. Bila ikatan keduniawian telah terlepas, maka semakin terbukalah kesempatan untuk melihat kebenaran dan keabadian kesucian Illahi di alam sana.Beberapa hari sebelum upacara Ngaben dilaksanakan, keluarga dari orang yang meninggal dibantu oleh masyarakat membuat “Bade dan Lembu” yang sangat megah terbuat dari kayu, kertas warna-warni dan bahan lainnya. “Bade dan Lembu” ini merupakan tempat jenazah yang nantinya dibakar. (wisataindoensia)
 
Sumber : Toraja Cyber News
 
Read More

Mencuri Mayat Kuno Toraja dari Puya-Nirwana ( Mummy Tana Toraja )

Keunikan tradisi ritual kematian di Toraja, tak urun membuat sejumlah pihak berhenti menggunakan kesempatan memperkaya diri sendiri. Benda-benda magis, tau-tau, erong, bahkan mumi dirampok dan dijual dengan harga tinggi sampai ke luar negeri. Artikel Tempo bertajuk Mencuri Mayat dari Nirwana ini terbit 25 Juni 2001, menelusuri pencurian mayat di Tana Toraja yang ibarat persoalan yang berpusing dalam labirin tanpa ujung. Bahkan di puya-nirwana tempat segala kehidupan akan berakhir dengan bahagia-mayat-mayat kuno Toraja kian sulit menemukan ketenangan. Hingga kini.

Di sebuah toko cenderamata di Rantepao, Tana Toraja, Sulawesi Selatan, pria setengah baya itu memperkenalkan diri: namanya Rukka Lindung, usianya 50 tahun. Dalam tokonya yang pengap, penjual bendabenda seni itu memajang berbagai suvenir khas Toraja. Ada pintu gua-gua kuburan tua, patung yang biasa dipajang di beranda kubur-kubur kuno (tau-tau), kain serta sesembahan kematian lainnya.

Benda-benda berwarna hitam dan kelabu serta berbau apak yang menyengat hidung ini mengalirkan suasana mistis di toko itu-sekaligus menjadi daya tarik. Siapa berminat, silakan mampir. Semua barang di toko Rukka Lindung berikut sederet kedai suvenir lain di Rantepao memang disediakan bagi para turis yang berminat pada benda-benda yang berhubungan dengan kematian-ciri khas wisata Tana Toraja.

Terletak di kawasan utara Sulawesi Selatan, Kabupaten Tana Toraja bisa dicapai dalam tujuh jam perjalanan dari Makassar. Daerah itu memang menjadikan kubur dan prosesi kematian sebagai daya tarik wisata, selama ini. Sebahagian dari daya tarik itu dipajang oleh Rukka dan kawan-kawannya di dalam toko-toko sepanjang jalan utama yang membelah Rantepao. "Semua itu replika atau tiruan," kata Rukka sambil menunjuk barang dagangannya.

Penjaja cenderamata memang hanya boleh menjual barang replika. Benda yang asli menetap di makam-makam kuno. Kandean dulang atau piring kayu yang bertangkai adalah salah satu contoh. Selain bernilai budaya tinggi, benda-benda kubur asli yang berumur ratusan tahun dilarang diperjualbelikan. Pemerintah mengategorikannya sebagai benda cagar budaya. Tapi betulkah tanda mata di kubur asli tak bisa diperjualbelikan di Toraja? Nanti dulu. "Ayo ikut saya ke lantai atas," kata Rukka. Melewati tangga kayu ke lantai dua, ia berbelok ke kanan dan masuk ke sebuah ruang lain berukuran sembilan meter persegi. Dalam keremangan cahaya, tampak beberapa benda kubur berukuran besar dan berwarna gelap. Ada sekitar 20 pintu makam kuno dan dua kepala peti mayat (erong) berbentuk kepala kerbau diletakkan di atas sebuah rak kayu. Beberapa di antaranya telah berlubang dimakan rayap. Semuanya asli. "Pintu makam ini dicuri seseorang di daerah Sanggalangi, Toraja, dan dijual kepada saya seharga Rp 2 juta," kata Rukka. Dua kepala erong lainnya ia beli sebulan silam. Sang pencuri menawarkan lima kepala erong seharga Rp 1,75 juta. "Pencurinya menggergaji sekaligus lima kepala kerbau dari peti mati," katanya. Salah satu erong sudah dijual Rukka kepada seorang kolektor Prancis seharga Rp 1,4 juta. Jika utuh beserta peti matinya, erong itu bisa lebih mahal. "Seorang kolektor Amerika pernah memesan peti utuh dan menawarkan harga US$ 1 juta (setara Rp 10 miliar pada kurs Rp 10 ribu)," kata Rukka lagi.

Di Toraja, kesakralan benda-benda kubur dan penghargaan terhadap kematian pupus perlahan-lahan. Penjualan barang-barang curian dari makam-makam purba sudah lazim (lihat Dari Gunung-gunung ke Eropa). Toko Rukka hanya salah satu contoh tempat penampungan barang curian tersebut. Selasa 3 April lalu, misalnya, liang batu di kampung Tondon di Makale, Toraja, dibobol pencuri. Dari beranda liang, si penjarah menggondol salah satu dari belasan tau-tau kuno dan menurunkannya dengan menggunakan tali plastik. Untung, sebelum tau-tau ini dilarikan, warga sekitar menemukannya tergeletak di tengah rerumputan. Rupanya, si pencuri menyimpannya di situ dan akan mengambilnya lagi jika keadaan sudah aman. Tersangkanya seorang anak muda dari Kota Makale. Tapi ia keburu kabur sebelum bisa ditangkap polisi. "Sasaran terbanyak pencurian adalah makam-makam tua di Kecamatan Rantepao, Sangalla, dan Mengkendek," kata Inspektur Satu Ruben Tato, Kepala Satuan Serse Polres Tana Toraja.

Tak cuma tau-tau. Mumi-mayat yang dikeringkan dan berusia ratusan tahun-pun kini dicuri dan diperjualbelikan. Tahun silam, sebuah mumi berusia 400 tahun hilang dari makam kuno di tebing curam Gunung Tallangsura' di Desa Dende'. Pencurinya tertangkap sebelum ia sempat melego jarahannya. Mumi berukuran 70 sentimeter itu kini diamankan di rumah seorang tetua adat di sana. Tak ada angka pasti berapa banyak mumi dan benda kuburan kuno sudah berpindah tangan. Tapi, dari cerita Rukka, terlihat jelas bagaimana penjualan barang haram itu telah dilakukan hingga ke Eropa.

Pada 26 Mei tahun lalu, bea dan cukai Semarang, misalnya, berhasil menggagalkan penyelundupan 33 benda purbakala (empat di antaranya tau-tau) ke Eropa. Benda-benda itu kini disimpan di Kantor Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala (SPSP) Yogyakarta. Mengapa hal ini bisa terjadi, sementara dalam kepercayaan Toraja pencurian mayat adalah penghinaan terhadap leluhur-juga berarti kematian? Sosiolog asal Toraja, Tanete Adrianus Pong Masak, menjelaskan fenomena itu dalam wawancara dengan TEMPO: "Masyarakat Toraja memang tengah dilanda krisis luar biasa. Nilai-nilai tradisionalnya sudah mulai hancur. Orang sudah tidak percaya lagi pada tradisi dan seolah-olah segalanya bisa diperjualbelikan." Tanete mencontohkan, mumi yang kini banyak diperdagangkan secara gelap adalah sesuatu yang amat dihormati dalam masyarakat Toraja. Adat Toraja selama ini memang dikenal mengagungkan mayat.

Prosesi penguburan jenazah bisa lebih semarak dari resepsi perkawinan. Biaya pesta penguburan bagi seorang berkasta tinggi bisa mencapai Rp 1 miliar (lihat Yang Mati Meninggalkan Beban). Dana sebesar itu dipakai untuk membeli kerbau, babi, membangun pemondokan untuk pesta dan pernak-pernik keriaan lainnya. Jika uang belum cukup, jenazah bisa disimpan dulu selama satu-dua tahun sebelum dikubur. "Masyarakat Toraja terobsesi pada maut. Kematian bagi mereka adalah pencapaian kehidupan yang abadi. Ritual penguburan dipahami sebagai ritus penebusan dosa dan pembersihan dari rasa takut," Tanete menjelaskan. Itu sebabnya dalam budaya Toraja dikenal pemeo "hidup manusia adalah untuk mati". Artinya, setelah mati, manusia akan menuju kehidupan yang kekal di nirwana (puya).

Untuk mencapai puya itulah seseorang yang mati harus membawa bekal harta sebanyak-banyaknya. Nyawa orang yang meninggal juga akan diantar ke surga melalui pesta kematian yang semarak. Selain itu, sebelum dimakamkan, jasad yang mati dianggap masih sakit. Memestakan penguburan mayat dianggap sebagai merayakan kesembuhan mayat tersebut. Kuburan kuno dalam dinding dingin cadas juga diyakini sebagai representasi surga. Semakin banyak benda yang dibawa sang mayat, semakin bahagia hidupnya di alam baka. Keluarga-keluarga kaya biasanya menyertakan emas dan perhiasan dalam kubur leluhur mereka. Sebuah kubur batu biasanya disiapkan hingga berbulan-bulan. Setelah siap, di beranda kubur diletakkan tau-tau sebagai sarana mengingat jenazah. Harta di dalam kubur itulah yang kemudian memikat para pencoleng.

Dalam banyak kasus, pencurian kerap melibatkan keluarga mayat. Di Desa Dende', misalnya, si pencuri bekerja sama dengan keluarga dekat sekaligus penjaga makam. Tanpa bantuan "orang dalam", pencurian benda kubur (terutama mumi) amat sulit dilakukan. Mumi-mumi berusia tua terletak di bagian atas gua dan relatif tersembunyi. Jika tak ada yang memberi tahu, sulit bagi pencuri menemukan mumi yang tersembunyi di antara ratusan mayat-mayat lain. Tidak semua kubur batu juga menyimpan mumi. Sebagian besar mayat hancur akibat gerusan cuaca dan jasad renik perusak. Hanya mayat-mayat tertentu yang bisa bertahan lama. Itulah sebabnya mumi yang utuh umumnya dipercaya memiliki daya magis tertentu (lihat 'To Kassala' bagi Para Penjarah). Tapi, menurut Candra Tulungallo, 39 tahun, pencari barang antik yang pernah dihukum empat bulan karena menadah tau-tau curian, peran keluarga hanyalah sebagai informan (lihat: Ada Mumi Berharga Rp 1 Miliar). Mereka tak berani mencuri sendiri karena takut kualat. Sebagai informan, pendapatan mereka tidak banyak.

Paling banter mereka mendapat Rp 2 juta jika misi pencuriannya sukses. Padahal, jika bisa dilego, harga tau-tau atau mumi bisa selangit. Menurut Rukka, tau-tau asli bisa laku hingga Rp 50 juta. Beberapa kolektor luar negeri yang mencari mumi atau tau-tau biasa menitipkan uang Rp 1 juta-2 juta sebagai panjar. Artinya, itu adalah uang hilang, karena belum ada jaminan barang yang diminta benar-benar tersedia. Bisnis mumi atau tau-tau di Toraja memang menggiurkan. Satu toko suvenir di Rantepao rata-rata bisa mengantongi Rp 60 juta per bulan. Jika turis sedang ramai (biasanya pada bulan April-September), pendapatan bisa melonjak berkali-kali lipat. Di negeri-negeri asing, mumi atau tau-tau dijadikan pajangan atau digunakan sebagai obyek penelitian. Tapi keuntungan besar amat bergantung pada pasokan barang. Banyak pedagang nekat memalsukan dagangannya-sembari berharap konsumen tertipu-karena tak mudah mendapatkan mumi atau tau-tau asli. Di sinilah calon pembeli harus pandai-pandai mengendus barang incarannya. Soalnya, dengan teknik tertentu, barang palsu dan asli sulit dibedakan. Teknik pemalsuannya juga tak sulit. Sebuah tau-tau palsu, misalnya, dibuat dari pokok kayu yang diukir mirip patung yang asli, lalu dibakar hingga menghitam dan diamplas hingga halus. Patung kayu itu lalu disiram air secara rutin selama sebulan hingga berjamur. Bercak jamur akan membuat patung-patung palsu tersebut tampak tua. Adapun mumi itu dibuat dari boneka yang dibungkus dengan kulit ayam yang dibalik sehingga menyerupai kulit manusia. Boneka itu lalu diberi ornamen seperti rambut, kuku, dan baju. "Tapi umumnya pembeli tahu mana mumi asli dan palsu," kata Rukka. Meski marak, pemalsuan tau-tau dan mumi itu tak meredakan besarnya pencurian tau-tau dan mumi asli.

Polisi Tana Toraja sendiri tampaknya sudah kewalahan dengan aksi ini. Soalnya, pada beberapa kasus, pencurian mayat tidak dilaporkan ke polisi karena telah diselesaikan di tingkat keluarga. "Sejauh ini baru dua kasus pencurian mumi yang sampai ke pengadilan. Selebihnya tidak jelas penyelesaiannya," kata David Layuk, Kepala Kejaksaan Negeri Makale. Selain itu, perangkat hukum yang bisa memberantas penjualan barang-barang tersebut ke luar Toraja juga tak kuat. Menurut Dendi Eka Hartanto, Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kantor Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala (SPSP) Yogyakarta-kota yang kerap jadi daerah transit mumi Toraja-selama ini undang-undang yang bisa dipakai untuk menjerat penjualan barang-barang kuno asal Toraja itu adalah Undang-Undang No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya. Persoalannya, undang-undang tersebut menetapkan bahwa larangan jual-beli hanya bisa dilakukan jika sudah ada surat keterangan (SK) yang memastikan bahwa benda-benda itu masuk kategori cagar budaya. "Jika belum, harus dilakukan penelitian dulu sebelum SPSP mengusulkan kepada pemerintah pusat agar menerbitkan SK tersebut. Jadi, prosesnya lama sekali," kata Dendi. Nah, tidak semua benda asal Toraja punya SK penguat seperti ini.

Perangkat hukum negara yang lemah ini masih ditambah lagi dengan tak berjalannya mekanisme hukum adat di Toraja sendiri. Menurut Tanete, dulu pencuri mayat bisa dihukum mati secara adat dengan cara ditenggelamkan di sungai. Entah mengapa, saat ini hukuman itu tidak pernah lagi diberlakukan. Sementara itu, godaan bagi warga Toraja untuk mencuri mayat juga tak berkurang. Kemiskinan yang mengimpit penduduk menjadikan pencurian mayat jadi solusi untuk memperoleh uang. "Pesta kematian yang berbiaya tinggi juga menimbulkan utang bagi keluarga. Ini menjadi beban hingga beberapa turunan," kata Tanete.

Pencurian mayat di Tana Toraja kini ibarat persoalan yang berpusing dalam labirin tanpa ujung. Bahkan di puya-nirwana tempat segala kehidupan akan berakhir dengan bahagia-mayat-mayat kuno Toraja kian sulit menemukan ketenangan.
Arif Zulkifli, Tomi Lebang (Toraja), Dwi Arjanto (Jakarta), L.N. Idayanie (Yogyakarta) 
Read More

14 Desember 2010

PASOLA, Tradisi Unik Perang Tarkam di Pulau Sumba, NTT



Jika ada kesempatan berkunjung ke Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur, jangan lewatkan kesempatan menyaksikan sebuah tradisi turun temurun bernama Tradisi Pasola. Pasola adalah tradisi permainan perang-perangan yang dilakukan oleh masyarakat penganut agama Marapu di Pulau Sumba. Permainan ini dilakukan oleh dua kelompok pasukan berkuda (tiap kelompok jumlahnya 100 orang) yang masing-masing bersenjatakan lembing atau tongkat kayu.

Istilah 'Pasola' sendiri berasal dari kata 'sola' atau 'hola' yang berarti tombak atau lembing kayu. Setelah mendapat imbuhan 'pa' menjadi 'pasola' atau 'pahola'. Sampai saat ini, belum diketahui secara pasti sejak kapan Pasola mulai dimainkan oleh masyarakat setempat.


Pasola ini  adalah bagian dari serangkaian upacara tradisional yang dilakukan oleh orang Sumba yang masih menganut agama asli yang disebut Marapu. Setiap tahun pada bulan Februari atau Maret serangkaian upacara adat dilakukan dalam rangka memohon restu para dewa agar supaya panen tahun tersebut berhasil dengan baik. Puncak dari serangkaian upacara adat yang dilakukan beberapa hari sebelumnya adalah apa yang disebut pasola. Pasola adalah ‘perang-perangan’ yang dilakukan oleh dua kelompok berkuda. Setiap kelompok teridiri atas lebih dari 100 pemuda bersenjakan tombak yang dibuat dari kayu berdiameter kira-kira1,5 cm yang ujungnya dibiarkan tumpul. Walaupun tombak tersebut tumpul, pasola kadang-kadang memakan korban bahkan korban jiwa. Tapi tidak ada dendam dalam pasola, kalau masih penasaran silakan tunggu sampai pasola tahun depannya. Kalau ada korban dalam pasola, menurut kepercayaan Marapu, korban tersebut mendapat hukuman dari para dewa karena telah telah melakukan suatu pelanggaran atau kesalahan.
 
Pasola, Tragedi Asmara di Padang Savana
Membedah pulau Sumba terbesit pesan Sumba adalah pulaunya para arwah. Di setiap sudut kota dan kampungnya tersimpan persembahan dan pujian para abdi. Nama Sumba atau Humba berasal dari nama ibu model Rambu Humba, istri kekasih hati Umbu Mandoku, salah satu peletak landasan suku-suku atas kabisu-kabisu Sumba.

Dua pertiga penduduknya adalah pemeluk yang khusuk berbakti kepada arwah para leluhurnya, khususnya kepada bapak besar bersama, sang pengasal semua suku. Marapu menurut petunjuk dan perhitungan para Rato, Pemimpin Suku dan Imam agung para Merapu. Altar megalik dan batu kuburan keramat yang menghias setiap jantung kampung dan dusun (paraingu) adalah bukti pasti akan kepercayaan animisme itu.
 

Sumba, pulau padang savana yang dipergagah kuda-kuda liar yang kuat yang tak kenal lelah menjelajah lorong, lembah dan pulau berbatu warisan leluhur. Binatang unggulan tingkatan mondial itu semakin merambah maraknya perang akbar pasola, perang melempar lembing kayu sambil memacu kuda, untuk menyambut putri nyale, si putri cantik yang menjelma diri dalam ujud cacing laut yang nikmat gurih.

Pasola berasal dari kata `sola’ atau `hola’, yang berarti sejenis lembing kayu yang dipakai untuk saling melempar dari atas kuda yang sedang dipacu kencang oleh dua kelompok yang berlawanan. Setelah mendapat imbuhan `pa’ (pa-sola, pa-hola), artinya menjadi permainan. Jadi pasola atau pahola berarti permainan ketangkasan saling melempar lembing kayu dari atas punggung kuda yang sedang dipacu kencang antara dua kelompok yang berlawanan. Pasola diselenggarakan di Sumba Barat setahun sekali pada bulan Februari di Kodi dan Lamboya. Sedangkan bulan Maret di Wanokaka. Pasola dilaksanakan di bentangan padang luas, disaksikan oleh segenap warga Kabisu dan Paraingu dari kedua kelompok yang bertanding dan oleh masyarakat umum. 

Sedangkan peserta permainan adalah pria pilih tanding dari kedua Kabius yang harus menguasai dua keterampilan sekaligus yakni memacu kuda dan melempar lembing (hola). Pasola biasanya menjadi klimaks dari seluruh rangkaian kegiatan dalam rangka pesta nyale.
Skandal Janda Cantik
Menelurusi asal-usulnya, pasola berasal dari skandal janda cantik jelita, Rabu Kaba sebagaimana dikisahkan dalam hikayat orang Waiwuang. Alkisah ada tiga bersaudara: Ngongo Tau Masusu, Yagi Waikareri dan Umbu Dula memberitahu warga Waiwuang bahwa mereka hendak melaut. Tapi nyatanya mereka pergi ke selatan pantai Sumba Timur untuk mengambil padi. Setelah dinanti sekian lama dan dicari kian ke mari tidak membuahkan hasil, warga Waiwuang merasa yakin bahwa tiga bersaudara pemimpin mereka itu telah tiada. Mereka pun mengadakan perkabungan dengan belasungkawa atas kepergian kematian para pemimpin mereka.

Dalam kedukaan mahadahsyat itu, janda cantik jelita `almarhum’ Umbu Dulla, Rabu Kaba mendapat lapangan hati Rda Gaiparona, si gatotkaca asal Kampung Kodi. Mereka terjerat dalam asmara dan saling berjanji menjadi kekasih.

Namun adat tidak menghendaki perkawinan mereka. Karena itu sepasang anak manusia yang tak mampu memendam rindu asmara ini nekat melakukan kawin lari. Janda cantik jelita Rabu Kaba diboyong sang gatot kaca Teda Gaiparona ke kampung halamannya. Sementara ketiga pemimpin warga Waiwuang kembali ke kampung. Warga Waiwuang menyambutnya dengan penuh sukacita. Namun mendung duka tak dapat dibendung tatkala Umbu Dulla menanyakan perihal istrinya. ‘Yang mulia Sri Ratu telah dilarikan Teda Gaiparona ke Kampung Kodi,’ jawab warga Waiwulang pilu. Lalu seluruh warga Waiwulang dikerahkan untuk mencari dua sejoli yang mabuk kepayang itu. Keduanya ditemukan di kaki gunung Bodu Hula.

Walaupun berhasil ditemukan warga Waiwuang di kaki gunung Bodu Hula namun Rabu Kaba yang telah meneguk madu asmara Teda Gaiparona dan tidak ingin kembali. Ia meminta pertanggungjawaban Teda Gaiparona untuk mengganti belis yang diterima dari keluarga Umbu Dulla. Teda Gaiparona lalu menyanggupinya dan membayar belis pengganti. Setelah seluruh belis dilunasi diadakanlah upacara perkawinan pasangan Rabu Kaba dengan Teda Gaiparona.

 Pada akhir pesta pernikahan keluarga, Teda Gaiparona berpesan kepada warga Waiwuang agar mengadakan pesta nyale dalam wujud pasola untuk melupakan kesedihan mereka karena kehilangan janda cantik Rabu Kaba. Atas dasar hikayat ini, setiap tahun warga kampung Waiwuang, Kodi dan Wanokaka Sumba Barat mengadakan bulan (wula) nyale dan pesta pasola.

Akar pasola yang tertanam jauh dalam budaya masyarakat Sumba Barat menjadikan pasola tidak sekadar keramaian insani dan menjadi terminal pengasong keseharian penduduk. Tetapi menjadi satu bentuk pengabdian dan aklamasi ketaatan kepada sang leluhur. Pasola adalah perintah para leluhur untuk dijadikan penduduk pemeluk Marapu. Karena itu pasola pada tempat yang pertama adalah kultus religius yang mengungkapkan inti religiositas agama Marapu. Hal ini sangat jelas pada pelaksanaan pasola, pasola diawali dengan doa semadhi dan Lakutapa (puasa) para Rato, foturolog dan pemimpin religius dari setiap kabisu terutama yang terlibat dalam pasola.

Sedangkan sebulan sebelum hari H pelaksanaan pasola sudah dimaklumkan bulan pentahiran bagi setiap warga Paraingu dan pada saat pelaksanaan pasola, darah yang tercucur sangat berkhasiat untuk kesuburan tanah dan kesuksesan panenan. Bila terjadi kematian yang disebabkan oleh permainan pasola, dipandang sebagai bukti pelanggaran atas norma adat yang berlaku, termasuk bulan pentahiran menjelang pasola. Pada tempat kedua, pasola merupakan satu bentuk penyelesaian krisis suku melalui `bellum pacificum’ perang damai dalam permainan pasola. 

 Peristiwa minggatnya janda Rabu Kaba dari Keluarga Waiwuang ke keluarga Kodi dan beralih status dari istri Umbu Dulla menjadi istri Teda Gaiparona bukanlah peristiwa nikmat. Tetapi peristiwa yang sangat menyakitkan dan tamparan telak di muka keluarga Waiwuang dan terutama Umbu Dulla yang punya istri. Keluarga Waiwuang sudah pasti berang besar dan siap melumat habis keluarga Kodi terutama Teda Gaiparona. Keluarga Kodi sudah menyadari bencana itu. Lalu mencari jalan penyelesaian dengan menjadikan seremoni nyale yang langsung berpautan dengan inti penyembahan kepada arwah leluhur untuk memohon doa restu bagi kesuburan dan sukses panen, sebagai keramaian bersama untuk melupakan kesedihan karena ditinggalkan Rabu Kaba. 

Pada tempat ketiga, pasola menjadi perekat jalinan persaudaraan antara dua kelompok yang turut dalam pasola dan bagi masyarakat umum. Permainan jenis apa pun termasuk pasola selalu menjadi sarana sosial ampuh. Apalagi bagu kedua kabisu yang terlibat secara langsung dalam pasola. Selama pasola berlangsung semua peserta, kelompok pendukung dan penonton diajak untuk tertawa bersama, bergembira bersama dan bersorak-sorai bersama sambil menyaksikan ketangkasan para pemain dan ringkik pekikan gadis-gadis pendukung kubu masing-masing. Karena itu pasola menjadi terminal pengasong keseharian penduduk dan tempat menjalin persahabatan dan persaudaraan. Sebagai sebuah pentas budaya sudah pasti pasola mempunyai pesona daya tarik yang sangat memukau. Olehnya pemerintah turut mendukung dengan menjadikan pasola sebagai salah satu ‘mayor event’.


Read More

Taman Nasional Manupeu-Tanah Daru

Taman Nasional Manupeu-Tanah Daru merupakan perwakilan hutan musim semi-peluruh dataran rendah yang tersisa di Sumba. Sebagian besar kawasan hutan di taman nasional tersebut berupa tebing-tebing terjal, yang muncul mulai dari permukaan laut sampai ketinggian 600 meter. 

Taman Nasional Manupeu-Tanah Daru memiliki keanekaragaman jenis bernilai tinggi yaitu sekitar 118 jenis tumbuhan diantaranya suren (Toona sureni), taduk (Sterculia foetida), kesambi (Schleichera oleosa), pulai (Alstonia scholaris), asam (Tamarindus indica), kemiri (Aleurites moluccana), jambu hutan (Syzygium sp.), cemara gunung (Casuarina sp.), dan lantana (Lantana camara).

Satwa yang ada pada kawasan taman nasional ini sebanyak 87 jenis burung termasuk 7 jenis endemik pulau Sumba yaitu kakatua cempaka (Cacatua sulphurea citrinocristata), julang Sumba (Rhyticeros everetti), punai Sumba (Treron teysmannii), sikatan Sumba (Ficedula harterti), kepodang-sungu Sumba (Coracina dohertyi), dan madu Sumba (Nectarinia buettikoferi). Burung julang sumba dan kakatua cempaka merupakan burung yang paling langka dan terancam punah khususnya di Pulau Sumba.

Taman Nasional Manupeu-Tanah Daru memiliki 57 jenis kupu-kupu termasuk tujuh endemik Pulau Sumba yaitu Papilio neumoegenii, Ideopsis oberthurii, Delias fasciata, Junonia adulatrix, Athyma karita, Sumalia chilo, dan Elimnia amoena.

Manupeu-Tanah Daru belum lama ditunjuk sebagai Taman Nasional, sehingga fasilitas untuk pengunjung masih sangat terbatas. Fasilitas yang tersedia berupa homestay yang dikelola oleh masyarakat sekitar taman nasional.  Sebagian besar wisatawan yang datang ke taman nasional ini umumnya terkait dengan waktu luang yang tersisa dari perjalanan wisata budaya di Pulau Sumba.

Lokasi yang menarik untuk dikunjungi:
  • Matayangu dan Lapopu. Air terjun yang terletak di Desa Waimanu dan Desa Katikutana.
Beberapa atraksi budaya di Pulau Sumba antara lain:
  • Waikabubak yang berdekatan dengan Taman Nasional Manupeu-Tanah Daru banyak dijumpai kuburan kuno yang diukir. Kuburan kuno tersebut merupakan simbol dan status sosial serta kesehatan masyarakat (Kadung Tana, Watu Karagata dan Bulu Peka Mila).
  • Pasola, merupakan atraksi ritual yang sangat menarik dan menegangkan, karena terlihat beberapa orang menaiki kuda yang dihias warna-warni, saling menyerang untuk merobohkan satu dengan lainnya dengan tombak kayu. Atraksi tersebut diselenggarakan pada bulan Februari di Lamboya dan Kodi, bulan Maret di Gaura dan Wanukaka.
Musim kunjungan terbaik: bulan Maret s/d Juni dan Oktober s/d Desember setiap tahunnya.

Cara pencapaian lokasi: Kupang-Waingapu dengan menggunakan pesawat terbang sekitar satu jam, kemudian dari Waingapu-Lewa-Waikabubak melalui jalan darat dengan kendaraan roda empat selama sekitar dua jam, yang dilanjutkan ke lokasi taman nasional (Desa Langgaliru, Desa Katiku Loku dan Desa Watumbelar).

Kantor: Jl. Perintis_Kemerdekaan
PO Box 15, Kupang 85228
Nusa Tenggara Timur
Telp. (0380) 832211
Sumber : dephut.go.id
Read More

Taman Nasional Kelimutu

Taman Nasional Kelimutu memiliki topografi daerah yang bergelombang mulai ringan sampai berat dengan relief berbukit-bukit sampai bergunung-gunung.

Beberapa tumbuhan yang terdapat di Taman Nasional Kelimutu antara lain kayu mata (Albizia montana), kebu (Homalanthus giganteus), tokotaka (Putranjiva roxburghii), uwi rora (Ardisia humilis), longgo baja (Drypetes subcubica), toko keo (Cyrtandra sp.), kayu deo (Trema cannabina), dan kelo (Ficus villosa).

Taman Nasional Kelimutu merupakan habitat sekitar 19 jenis burung yang terancam punah diantaranya punai Flores (Treron floris), burung hantu wallacea (Otus silvicola), sikatan rimba-ayun (Rhinomyias oscillans), kancilan Flores (Pachycephala nudigula), sepah kerdil (Pericrocotus lansbergei), tesia Timor (Tesia everetti), opior jambul (Lophozosterops dohertyi), opior paruh tebal (Heleia crassirostris), cabai emas (Dicaeum annae), kehicap Flores (Monarcha sacerdotum), burung madu matari (Nectarinia solaris), dan elang Flores (Spizaetus floris).

Dari empat jenis mamalia endemik taman nasional ini, yang sering dijumpai adalah dua tikus gunung Bunomys naso dan Rattus hainaldi.Di taman nasional ini dapat dijumpai beberapa satwa seperti banteng (Bos javanicus javanicus), kijang (Muntiacus muntjak nainggolani), luwak (Pardofelis marmorata), trenggiling (Manis javanica), landak (Hystrix brachyura brachyura), dan kancil (Tragulus javanicus javanicus). 
 
Sedangkan biota laut yang berada di sekitar Pulau Menjangan dan Tanjung Gelap terdiri dari 45 jenis karang diantaranya Halimeda macroloba, Chromis spp., Balistes spp., Zebrasoma spp., dan Ypsiscarus ovifrons; 32 jenis ikan diantaranya ikan bendera (Platax pinnatus), ikan sadar (Siganus lineatus), dan barakuda (Sphyraena jello); 9 jenis molusca laut diantaranya kima selatan (Tridacna derasa), triton terompet (Charonia tritonis), dan kima raksasa (Tridacna gigas). 
 
Selain memiliki keanekaragaman hayati yang cukup bernilai tinggi, juga memiliki keunikan dan nilai astetika yang menarik yaitu dengan adanya tiga buah danau berwarna dan berada di puncak Gunung Kelimutu (1.690 meter dpl). Danau pertama bernama Tiwu Ata Mbupu (danau arwah para orang), danau kedua bernama Tiwu Nuwa Muri Koo Fai (danau arwah muda-mudi) dan danau ketiga bernama Tiwu Ata Polo (danau arwah para tukang tenung). Danau pertama dan kedua letaknya sangat berdekatan, sedangkan danau ketiga terletak menyendiri sekitar 1,5 km di bagian Barat. Warna air dari ketiga danau tersebut berbeda satu sama lain dan selalu berubah dari waktu ke waktu terutama warna air Tiwu Nuwa Muri (duabelas kali perubahan dalam jangka waktu duapuluh lima tahun). Selain disebabkan oleh aktivitas gunung berapi Kelimutu, perubahan warna ini diduga akibat adanya pembiasan cahaya matahari, adanya mikro biota air, terjadinya zat kimiawi terlarut, dan akibat pantulan warna dinding dan dasar dana.

Kekayaan alam yang dimiliki Taman Nasional Kelimutu ditunjang oleh seni budaya berupa rumah adat, tarian tradisional dan kerajinan tenun ikat yang merupakan ciri khas masyarakat setempat. Pembuatan tenun ikat sangat menarik perhatian pengunjung, karena didasari oleh seni dan imajinasi yang sangat tinggi dan berbeda dengan pembuatan tenun ikat lainnya di Indonesia.
 
Cara pencapaian lokasi: Menggunakan pesawat terbang Kupang-Ende selama sekitar 40 menit atau Bima-Ende selama sekitar 90 menit. Selanjutnya dari Ende ke desa terdekat yaitu Desa Koanara sekitar 93 km (± 3 jam). Kemudian dari Desa Koanara-Desa Koposili-Desa Manakuko-Puncak Danau Kelimutu berjalan kaki sekitar 2,5 jam.
 
Sumber : dephut.go.id
Read More

12 Desember 2010

Uang Kampua, Sistem Pembayaran dari Buton

Sering kali orang mengidentikkan Museum Nasional dengan arca. Dulu, memang yang dominan di museum ini adalah arca batu. Koleksi-koleksi inilah yang pertama kali dilihat oleh pengunjung, setelah mereka membeli tiket masuk. Tidak heran bila kemudian Museum Nasional sering disebut Gedung Arca. Namun sesungguhnya, koleksi-koleksi Museum Nasional amat beragam. Banyak kekayaan budaya dari berbagai daerah terlestarikan di sini. Salah satu di antaranya adalah uang kampua atau bida. Boleh dibilang koleksi ini merupakan masterpiece ruang Numismatik dan Heraldik sampai sekarang.

Dibandingkan mata uang yang beredar sekarang, bentuk uang kampua sangat unik dan bisa dibilang langka. Uang ini dibuat dengan keterampilan tangan, bahannya adalah kain katun berukuran panjang 140 mm dan lebar 170 mm. Cara pembuatannya bukan dicetak tapi ditenun oleh putri-putri istana atau kalangan kerajaan. Mata uang yang berada di Museum Nasional berasal dari abad ke-19 di Kerajaan Buton, Sulawesi Tenggara. Kemungkinan kampua merupakan uang tertua di Pulau Sulawesi. Selain di Buton, kampua juga pernah diberlakukan di Bone, Sulawesi Selatan, dengan bahan serat kayu. Menurut cerita, kampua diciptakan pertama kali oleh Ratu Buton yang kedua, Bulawambona. Dia memerintah sekitar abad ke-14.

Diawasi ketat

Keunikan lain uang kampua sistem pengawasannya yang mirip-mirip pengawasan bank sentral di masa modern. Agar terkendali peredarannya, maka jumlah dan corak uang ini ditentukan oleh “BI-nya” Buton, yang dipimpin Menteri Besar Kerajaan yang disebut Bonto Ogena. Dialah yang melakukan pengawasan dan pencatatan atas setiap lembar kain kampua, baik yang telah selesai ditenun maupun yang sudah dipotong-potong.

Pengawasan oleh Bonto Ogena juga dimaksudkan agar tidak timbul pemalsuan. Karena itu, hampir setiap tahun motif dan corak kampua selalu berubah. Hukum di sana memang sangat ketat dan berat. Barang siapa yang ketahuan membuat atau memalsukan uang kampua akan dipancung. Standar pemotongan kain kampua adalah dengan mengukur lebar dan panjangnya, yakni empat jari untuk lebarnya dan sepanjang telapak tangan mulai dari tulang pergelangan tangan sampai ke ujung jari tangan, untuk panjangnya. Tangan yang dipakai sebagai alat ukur adalah tangan sang Bonto Ogena sendiri.

Mata uang kampua banyak digunakan pada masa pemerintahan Sultan Dayan pada abad ke-14. Tapi diyakini pembuatannya sudah dilakukan pada pemerintahan raja sebelumnya. Disayangkan, informasi yang akurat belum ditemukan. Kampua menjadi populer karena Sultan Dayan memerintahkan agar setiap transaksi menggunakan mata uang tersebut. Barang siapa yang ketahuan menggunakan mata uang lain, akan dihukum mati.

Pada awal pembuatannya, standar yang dipakai sebagai nilai tukar untuk satu bida (lembar) kampua adalah sama dengan nilai satu butir telur ayam. Setelah Belanda memasuki wilayah Buton, kira-kira tahun 1851, fungsi kampua sebagai alat tukar lambat laun mulai digantikan uang-uang buatan Kompeni. Ditetapkan bahwa nilai tukar untuk 40 lembar kampua sama dengan 10 sen duit tembaga, atau setiap empat lembar kampua mempunyai nilai sebesar satu sen. Walaupun demikian, kampua tetap digunakan pada desa-desa tertentu di Kepulauan Buton sampai tahun 1940. Kita termasuk beruntung karena beberapa museum masih memiliki koleksi uang kampua kuno dengan berbagai corak dan ragam. Selain di Museum Nasional, koleksi uang kampua juga dimiliki Museum Bank Indonesia Jakarta Kota dan Museum Mpu Tantular Surabaya.  
 
Oleh : Djulianto Susantio, seorang pemerhati budaya
Sumber : kompas.com
Read More

Aluk Todolo, Kepercayaan Kepada Leluhur Masyarakat Toraja

Tak ada aturan tertulis mengenai Aluk Todolo, kepercayaan kepada leluhur warga Dusun Kanan di Tana Toraja, Sulawesi Selatan. Kepercayaan mereka diturunkan secara lisan, turun-temurun, dan mengikat kehidupan sehari-hari. Namun, warga mematuhi aturan itu dan rela menjalani hukuman jika ketahuan melanggar Penganut Aluk Todolo wajib menyembah dan memuliakan leluhurnya yang diwujudkan dalam berbagai bentuk dan sikap hidup serta ungkapan ritual.

"Penganut Aluk Todolo relatif terbuka terhadap modernisasi dan dunia luar. Mereka meyakini, aturan yang dibuat leluhurnya akan memberikan rasa aman, mendamaikan, menyejahterakan, serta memberi kemakmuran warga," kata Musni Lampe, pengajar antropologi di Universitas Hasanuddin, Makassar. Walau terbuka bagi agama luar, warga sepakat, yang telah menganut selain Aluk Todolo wajib keluar dari Dusun Kanan. Tentu saja mereka tetap boleh berkunjung ke sana, tapi tak dapat tinggal lama.

Di luar penganut Aluk Todolo, sekalipun bangsawan dan memiliki banyak uang, mereka tidak boleh dikuburkan dengan ritual pa'tomate, upacara penguburan jenazah khas dusun itu. Penganut Aluk Todolo menjunjung tinggi kebenaran dan kejujuran. Mereka begitu tegas menerapkan aturan leluhur. Berani melanggar berarti bakal menyengsarakan warga dusun, misalnya mendatangkan petaka gagal panen. Semua kesalahan dan kecurangan berhadapan dengan hukum dan hal itu berlaku bagi semua, termasuk keluarga dekat, saudara jauh, atau pendatang.


Penegakan aturan itu begitu ketat dalam pelaksanaan pa'tomate. Selama berlangsungnya pa'tomate Uyung Kariwangan, generasi terakhir parenge (bangsawan) Pana asli Dusun Kanan, warga tidak boleh berhura-hura, seperti berjudi dan bermain kartu. Jika ketahuan, mereka harus membayar denda berupa babi atau uang senilai harga babi. Itu terjadi saat pa'tomate berlangsung baru-baru ini. Empat pria tertangkap tangan bermain kartu dan mereka diwajibkan membayar denda tujuh babi.

Selama jenazah belum dikuburkan, seluruh keluarga, warga dusun, dan pelaku ritual tidak boleh makan nasi beras sebagai tanda ikut berdukacita atas kepergian orang yang dikasihi. Mereka hanya boleh memakan nasi jagung. Mereka baru akan makan nasi beras lagi jika ritual pa'tomate berakhir, sehari seusai upacara penguburan.

Aturan lainnya, selama prosesi pembungkusan jenazah, mereka yang tinggal di rumah almarhum tidak boleh memasak semua jenis sayuran. Jika dilanggar, jenazah akan membusuk dan baunya melekat. Bahkan, selama proses itu berlangsung, tidak ada seorang pun yang boleh meludah di dekat jenazah. Jika melanggar, kekuatan mistik untuk mengawetkan jenazah guna mencegah busuk akan hilang. Mereka yang nekat melanggar akan sakit. Setelah mayat dikuburkan, mereka yang mengikuti proses pemakaman ke liang lahad wajib kembali ke rumah duka sebelum pulang ke rumah masing-masing. Yang melanggar akan mendapat kecelakaan dalam perjalanan. Untuk menghindari pelanggaran, berulang-ulang aturan itu diumumkan hingga sebelum jenazah diberangkatkan ke makam. Jika ada warga yang lupa dengan aturan tersebut, dia harus segera didoakan sesepuh pemimpin prosesi ritual.

Secara geografis, Dusun Kanan berada di ketinggian lebih dari 3.000 meter di atas permukaan laut. Daerahnya cantik, bergunung, berbukit, dengan lembah nan hijau. Lokasinya 163 kilometer dari Mamuju, ibu kota Sulawesi Barat, 83 kilometer dari Polewali Mandar, atau 328 kilometer dari Makassar, Sulawesi Selatan.

 Malam hari, suhu di daerah yang berpenduduk 80 orang itu ini 12-17 derajat celsius. Itu sebabnya penduduk senang membungkus tubuhnya dengan sambu, sarung asal Simbuang. Meski Dusun Kanan menawan, transportasi ke sana sulit. Untuk mencapai kawasan itu pun hanya ada jalan kecil, berkelok, dan licin. Di kanan-kiri jalan jurang menganga. Kompas terpaksa menyewa ojek motor Rp 120.000 untuk jarak 11 kilometer menuju Dusun Kanan. Secara administratif, Dusun Kanan berada di Kecamatan Simbuang, Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan. Namun, adat istiadatnya lebih banyak mendapat pengaruh kebudayaan Mamasa (dulu Toraja Barat).

Aluk Todolo adalah kepercayaan masyarakat Mamasa sebelum agama samawi masuk ke daerah itu. Aluk berarti 'aturan', todolo berarti 'nenek moyang'. Andai warga Indonesia lainnya mau meniru kepatuhan warga Dusun Kanan, mungkin negeri ini akan menjadi lebih baik. Semua penduduk setara di mata hukum.

Oleh Pinkan Elita Dundu
Sumber : kompas.com
Read More

Ahli Waris Aksara Lota Ende


Suatu bangsa dikenal dari bahasa dan aksaranya. Salah satu kriteria tingginya budaya suatu bangsa dapat dilihat dari peninggalan budaya tulisnya. Masyarakat Ende, Kabupaten Ende, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, memiliki aksara Lota. Sayangnya, kini, aksara Lota itu terkesan dibiarkan mati. Aksara Lota merupakan turunan dari aksara Bugis yang masuk Ende sekitar awal abad ke-16. Aksara Bugis ini kemudian beradaptasi dengan sistem bahasa dan budaya lokal masyarakat Ende. Pada masa lampau, aksara Lota ini ditulis pada daun lontar.

Pada 1990-an, aksara Lota semakin kehilangan penggunanya. Saat itu hanya kalangan tua yang menguasai aksara ini. Salah satunya Rugeya (kini almarhumah), sosok yang fasih menulis-membaca Lota dan menjadi narasumber para peneliti yang pada 1993 sudah berusia 65 tahun. Proses regenerasi amat lemah. Generasi muda kurang berminat mempelajari aksara Lota karena terbatas penggunaannya dibandingkan aksara Latin yang menjadi alat komunikasi ataupun huruf Arab yang dipelajari untuk mendalami agama Islam. Akibatnya, aksara Lota pun mati pelan-pelan. Bahkan, saat ini pun kalangan tua sudah banyak yang lupa membaca dan menulis aksara itu.

Saat bergerak ke selatan Ende, tepatnya di Kampung Puubara, Desa Borokanda, Ende, tim Ekspedisi NTT Kompas bertemu Mustafa Saleh Nggae (52), salah seorang warga Ende yang peduli dan mencoba menyelamatkan aksara Lota dari kepunahan. Mustafa juga termasuk segelintir orang yang masih lancar menulis dan membaca aksara Lota dari total penduduk Ende yang berjumlah sekitar 250.000 jiwa. Tidak ada yang menyuruh ataupun memaksa Mustafa untuk menekuni aksara Lota yang bentuknya mirip huruf Hiragana itu. ”Saya mulai belajar menulis dan membaca aksara Lota saat usia 30 tahun,” katanya.

Digunakan orang tua Waktu itu, Mustafa tergerak mempelajari aksara Lota karena masyarakat yang bisa membaca dan menulis aksara Lota yang tersisa jumlahnya bisa dihitung dengan jari sebelah tangan. Kalaupun ada yang bisa, usianya sudah melewati 50 tahun. Padahal, aksara Lota selalu digunakan para orang tua yang mengkhitankan anak atau warga yang akan membangun rumah baru. Si empunya hajat biasanya minta dibacakan riwayat hidup, asal-usul, dan keadaan keluarganya yang tertulis dalam aksara Lota dan disampaikan dalam bentuk wo’i (nyanyian ratapan, prosa naratif tentang kejadian alam, riwayat hidup seseorang, dan lainnya).

Wo’i biasanya disampaikan di hadapan undangan di acara hajatan. Karena pendendang membaca dalam irama sedih, tidak sedikit undangan meneteskan air mata karenanya. Realitas itu yang membuat Mustafa bertekad mempelajari Lota. Ia tidak ingin sepeninggal generasi tua itu, aksara Lota hilang ditelan zaman.
Mustafa tidak berhenti di cita-cita. Dia juga mempelajari huruf Lota kepada kakeknya, Abdul Fatah (almarhum), yang tinggal di Pulau Ende. Kakeknya itu memang menguasai aksara Lota dan sering diminta menjadi pendendang wo’i beraksara Lota.

Niatnya yang bulat menyebabkan Mustafa kemudian tinggal sementara di Pulau Ende yang kalau ditempuh dengan perahu motor dari Kota Ende perlu waktu sekitar 45 menit. Ia belajar Lota rata-rata dua kali sehari setelah makan siang dan seusai shalat magrib. Keseriusannya menampakkan hasil. Dalam waktu tiga bulan, Mustafa lancar membaca dan menulis aksara Lota serta menguasai cengkok wo’i dengan baik. Saking melekatnya wo’i dalam benaknya, Mustafa selalu dipanggil untuk mengekspresikan perasaannya pada banyak acara adat. Saat ini Mustafa sering diundang untuk membaca wo’i dalam acara resmi yang digelar Pemerintah Kabupaten Ende.

Tak ada regenerasi Cita-cita Mustafa untuk meneruskan warisan leluhurnya kini mulai tercapai. Warga yang mengadakan hajatan hampir pasti meminta jasa Mustafa membaca wo’i. ”Mau dibayar berapa, terserah keikhlasan pengundang saja,” ucapnya soal upah dari jasa yang diberikannya. Dia lebih peduli jika aksara Lota itu semakin dikenal dan tidak ditinggalkan oleh masyarakat ataupun generasi mendatang. Meski demikian, ia tetap saja risau aksara Lota ini akan hilang. Gelagat itu terindikasi dalam tiga tahun terakhir. Hampir tidak pernah lagi ada hajatan pernikahan dan sunatan yang diramaikan acara wo’i. Kerisauan Mustafa ini bukan karena pendapatannya atau mata pencariannya terancam ikut hilang. Selama ini, sumber penghasilan utama Mustafa adalah dari menenun sarung tradisional Ende. Benangnya menggunakan pewarna alami. Selembar kain tenun buatan Mustafa dihargai tak kurang dari Rp 1,5 juta. Mustafa lebih mengkhawatirkan hilangnya generasi masa depan Ende yang mengenal aksara Lota. ”Sebenarnya tidak sulit belajar Lota. Asalkan serius, tiga bulan pasti bisa baca-tulis Lota. Tapi, anak-anak muda sekarang tampaknya tidak suka belajar tulisan ini. Padahal, saya bersedia mengajar anak-anak di kampung ini,” katanya.

Strategi belajar Lota dimulai dari menghafal bentuk huruf, suku kata, dan konsonannya. ”Untuk lancar membaca aksara itu diperlukan waktu paling lama seminggu,” kata anak sulung dari empat bersaudara pasangan Muhamad Saleh-Jaenab itu. Ketiadaan regenerasi diperparah lagi dengan sangat sedikitnya naskah Lota. ”Saya menyesal karena beberapa tulisan aksara Lota tidak saya simpan,” katanya. Aksara Lota yang dibaca dalam bentuk wo’i biasanya dipegang si empunya hajat, dijadikan ”pusaka” karena isinya menyangkut silsilah keluarga, sejarah pemilikan tanah, dan lainnya. Bahkan, ada naskah Lota yang disimpan warga yang untuk melihat dan membacanya saja harus didahului acara khusus.

Penelitian lapangan selama dua bulan yang dilakukan Maria Matildis Banda di Ende tahun 1993 menunjukkan, setidaknya ada 20 naskah Lota. Jumlah itu amat sedikit dibandingkan naskah Sunda (789 naskah) yang dikoleksi di perpustakaan dalam dan luar negeri serta 554 naskah Sunda yang disimpan masyarakat. ”Saya baru sadar kalau penting sekali mempunyai catatan Lota. Mulai sekarang, saya menyempatkan waktu luang membuat catatan harian khusus dengan tulisan Lota, sekaligus untuk selalu mengasah membaca dan menulis,” ungkap Mustafa yang dengan upayanya sendiri mengonservasi aksara Lota di ambang kepunahannya
(Samuel Oktora dan Khaerul Anwar)

Sumber : kompas.com
Read More

Aksara Lota Ende Terasing di Negeri Sendiri

Tak banyak yang mengetahui bahwa di kawasan Nusa Tenggara Timur, khususnya Kabupaten Ende, Pulau Flores, terdapat aksara asli yang disebut Lota. Aksara ini nyaris punah. Tim Kompas bersama peneliti aksara Lota, Maria Matildis Banda, mengunjungi sejumlah tempat di Kecamatan Ende, Ende Selatan, Ende Utara, dan Nangapanda, yaitu permukiman etnik Ende yang beragama Islam, pengguna terbesar aksara Lota pada masa lalu.

Tima (84), warga Kampung Woloare, Kota Ende, menuturkan, ia mengenal aksara Lota sejak kelas I sekolah rakyat. Karena sudah lama tidak menggunakan, Tima mengerutkan kening dan berusaha mengingat ketika diminta membaca atau menulis aksara itu. "Saya sudah banyak lupa," katanya setelah berhasil menulis beberapa kosakata huruf Lota. Surat beraksara Lota dulu ditulis menggunakan ujung pisau pada wunu koli (daun lontar). Hal senada diutarakan Murukana (80), nelayan Ndao.

Aksara Lota mulai kehilangan penggunanya tahun 1990-an. Generasi muda lebih suka belajar huruf Arab untuk membaca Al Quran dan huruf Latin sebagai media komunikasi. Hal ini menyedihkan mengingat aksara Lota adalah aset budaya Ende yang turut menyumbang kebinekaan Indonesia. Mungkin hanya Mustafa Saleh Nggae (52), warga Kampung Pu’u Mbara, Kecamatan Ende Utara, yang masih mahir membaca dan menulis aksara Lota. Ia langsung membaca dengan cara bersenandung (wo’i) ketika disodori naskah prosa berjudul Ratu Jie Ne’e Ratu Re’e, yang ditulis dengan bahasa Lio Ende.

Wo’i merupakan tradisi di etnik Ende, semacam syair dalam aksara Lota yang dibacakan pada acara sunatan, pesta pernikahan, dan pembangunan rumah. Wo’i berisi silsilah keluarga, sambutan bagi kedatangan kerabat, dan doa-doa agar hajatan berjalan baik. "Tapi, dalam tiga tahun terakhir ini jarang orang meminta wo’i," kata Mustafa, yang belajar aksara Lota dari kakeknya, Abdul Fatah (almarhum). Aksara Lota merupakan turunan langsung dari aksara Bugis. Sejarah mencatat, aksara Lota masuk Ende sekitar abad ke-16 semasa pemerintahan Raja Goa XIV I Mangngarangi Daeng Manrabia bergelar Sultan Alaudin (1593-1639). Ia dibawa orang Bugis yang migrasi ke Ende. Aksara Bugis beradaptasi dan berkembang sesuai dengan sistem bahasa Ende menjadi aksara Lota.

Lota berasal dari kata lontar. Mulanya aksara Ende ditulis pada daun lontar. Dalam perkembangannya ditulis di kertas. Ada delapan aksara Lota Ende yang tidak ada dalam aksara Bugis, yaitu bha, dha, fa, gha, mba, nda, ngga, dan rha. Sebaliknya ada enam aksara Bugis yang tidak ada dalam aksara Lota Ende, yaitu ca, ngka, mpa, nra, nyca, dan nya. Aksara Lota Ende sudah diteliti sejumlah pakar linguistik dan filologi, antara lain S Ross yang hasilnya dibukukan oleh Suchtelen tahun 1921 dalam Encyclopaedisch Bureau Endeh Flores. Peneliti lain adalah Jan Djou Gadi Ga’a tahun 1959, 1978, 1984, serta Maria Matildis Banda meneliti tahun 1993 dengan dukungan dana dari Ford Foundation. Hasilnya dibukukan tahun 2005 dengan judul Deskripsi Naskah dan Sejarah Perkembangan Aksara Ende Flores Nusa Tenggara Timur.

Menurut Maria, aksara Lota sebenarnya gampang untuk dipelajari, tetapi seperti dibiarkan mati. Perhatian pemerintah daerah juga kurang. ”Padahal, salah satu tanda tingginya peninggalan budaya suatu bangsa adalah budaya tulisnya,” kata Maria, dosen Fakultas Sastra Universitas Udayana, Bali. Prof Stephanus Djawanai, Guru Besar Bidang Linguistik dari Universitas Gadjah Mada, di Ende menyatakan, aksara Ende termasuk jenis silabik (syllabic writing, syllabibography, syllable writing), yang menggambarkan suku-suku kata, mirip dengan Hiragana Jepang. Jadi, bukan alfabet seperti huruf Latin. ”Tradisi penulisan aksara Lota bisa dikembangkan lewat jalur pendidikan. Strateginya, menjadikan aksara Lota sebagai salah satu pelajaran muatan lokal,” kata Stephanus. Saran itu patut menjadi perhatian. Jika proses regenerasi terputus, bisa jadi generasi masa depan NTT tinggal mengenang aksara Lota sebagai sejarah.(SEM/RUL)

Sumber : kompas.com
Read More